namaku Vio, aku lahir dikeluarga sederhana, aku anak kedua dari 4 bersaudara. Semua saudaraku laki-laki, kecuali aku, aku anak perempuan satu satunya di keluarga ini. Terkadang, mama dan papa menganggapku seperti anak kecil, aku merasa aku sudah besar, aku akan menginjak umur 17tahun, dan aku bisa mengurus diriku sendiri.
Vion, seorang laki laki yang beberapa tahun ini menemani hidupku, tepatnya menginjak 2tahun. Bahagia sekali bisa melewati hari hari bersama, menanggung suka dan duka bersama. Sepenanggungan, ya mungkin kata itu pas untuk kami.
Semuanya terasa sempurna, keluargaku, Vion, dan juga teman teman yang menyayangiku. Tapi semuanya berubah saat aku sakit, sakit sesak nafas, yang entah apa penyakitnya. Lalu kehidupanku berubah drastis, keluargaku menderita, kekurangan uang, hutang dimana mana, teman temanku, semuanya menjauh, menganggapku kuman yang tak pantas untuk dijadikan teman. Hanya Vion yang mengerti aku, yang menemaniku selama ini. Aku percaya bahwa dia tak seperti teman temanku, yang membuangku begitu saja. Tapi satu saat, aku memergoki Vion bersama wanita lain, parahnya itu temanku sendiri, teman baikku
“kamu sama Virla?” Tanyaku setengah gemetar
“ya Vi” jawab Vion seperlunya
“Vion, kamu gak serius kan? kita baru aja annive 3hari yang lalu, kamu kgak khianatin aku kan?” tanyaku setengah menangis, dan akhirnya air mataku pecah
“aku serius, aku mau putusin kamu. Vio, aku malu punya pacar yang penyakitan, yang gatau apa penyakitnya, yang nyusahin semua orang, yang keluarganya berantakan kaya keluargamu. Apa kata mamaku nanti kalau tau kamu gitu? Aku malu! Kita udahan aja Vio, maaf sebelumnya” jelas Vion panjang lebar
Aku hanya diam, tak percaya. Semuanya berantakan, aku benci pada dunia ini, kenapa dunia ini begitu sesakit ini? Semua hidupku, yang dulu indah, hancur lebur dalam satu hari. Baru saja aku menerima telfon dari kakakku, Leo. Dia memberithuku bahwa mama dan papa bercerai, hatiku remuk, cukup hanya Vion yang mengkhianatiku, sekarang mama dan papa yang ku saying harus berpisah dan hidup di rumah yang berbeda? Rasanya aku ingin membanting handphone kesayanganku saat itu juga, karna amat sangat kesal. Aku berniat pulang, kerumah, rumah yang entah utuh atau tidak saat ini. Sambil berjalan lesu, hampir jatuh.
**
“aku pulang” ucapku lesu
Yang aku lihat bukan mama yang menyambutku dengan hangat, kakakku yang selalu meyebutku dengan panggilan “anak babi” karna pipiku yang gemuk. Yang ku lihat mama dan papa yang adu mulut, cekcok, sedngkan kakak2ku hanya diam, ada yang menonton tv, main game, makan, tidur. Sungguh, aku ingin melerai mereka, tapi sungguh aku muak dengan mereka, dengan kehidupan yang seperti ini. Tuhan sedang mengujiku, menguji seberapa kuatkah aku menghadapi kehidupanku. Sementara itu nafasku tersedak sedak, oksigen mulai hilang dari paru2ku, rasanya sakit, tapi aku tahan sekuat kuatnya. “aku kuat” ucapku dalam hati, menguatkan hatiku, batinku, atas semua yang aku alami hari itu. Sungguh hari itu hari paling muak, sakit, dan apalah entah apa namanya, yang pasti aku muak.
**
Aku terbangun dari tidurku. Aku berharap aku tidak bangun lagi, aku harap saat aku bangun aku berada di surga, ditempat yang indah, tapi ini? Tempat memuakkan. Di kontrakan, bersama mamaku. Ya, aku ikut ibuku, dan kakak2ku entah tinggal dimana, apalagi papah, mungkin jadi gembel dijlanan, entahlah.
“pagi Vi, baik baik aja kan kamu?” Tanya mama santai
“ya ma” jawabku singkat
Mama menghampiriku, duduk didepanku
“kamu kenapa Vi? Cerita yuk sama mama”
“gapapa, aku baik baik aja ma” jawabku bohong
Apa mama tak melihat bagaimana perasaanku? Merasakan bahwa aku muak dengan semuanya? Apa harus aku bilang pada mama “mama, aku muak dengan semuanya, termasuk hidupku”, begitu? Aku rasa mama bisa tau, buktinya mama menanyakan aku kenapa. Tapi kenapa mama tak merasa bahwa aku tersiksa?
“tuhkan Vio bohong sama mama, ayo kasih tau, mama kan gak tau kamu kenapa” Tanya mama lembut
“mama gak tau aku kenapa? Mama gak ngerasa aku kenapa? Gak liat dari mukaku kalau aku sangat sakit lahir batin? Mama gak merasa? Iya?” tanyaku berulang ulang
Mama hanya diam, menatapku kalut. Aku diam, memandangi jendela, memandangi awan yang mulai mendung.
“Vio, maafin mama yah” ucap mama pelan
“buat apa? Maaf gak bisa rubah semuanya kan? Maaf juga gak bisa ilangin penyakitku yang gak jelas ini, gak bisa satuin mama sama papa lagi, gak bisa satuin aku sama Vion lagi mah!” ucapku setengah membentak
Aku terengah engah, nafasku tak karuan, oksigen berlomba lomba memasuki rongga badanku. Rasanya sakit, sesak. Mataku gelap, berbayang, aku jatuh, dan aku terlelap
**
Bau obat menyelimuti hidungku, baunya menjijikan, rasanya ingin muntah. Jarum infus menusuk tangan kiriku, rasanya bosan tanganku selalu ditusuk jarum infus. Kepalaku sakit, apalagi dadaku, rasanya masih sesak. Mama masih diam disebelah tempat tidurku, lalu terperanjat saat dia melihatku bangun
“Vio, Vio, kamu gak apa2 kan?” Tanya mama panic
“baik ma” jawabku singkat
“maafin mama ya Vio” ucap mama lemas
Aku hanya diam, tak menanggapi perktaan mama tadi. Apakah aku harus membentak mama? Member tahunya bahwa maaf tak beguna? Aku masih punya hati
“oiya, kenapa kamu gak cerita kalau kamu putus sama Vion?” Tanya mama, to the point
Hah, Vion? Masih jaman Vion? Aku benci menyebut namanya, muak. Ingat akan janji busuknya, menerima aku apadanya, tapi buktinya? Belum cacat pun aku sudah dikhianati, apalagi sudah cacat. Sangat sangat muak.
“cerita? Memang itu penting buat mama? Aku rasa itu gak penting buatku, apalagi buat mama, makanya aku gak cerita. Dia khianatin aku ma, karna apa mama mau tau?” tanyku setengah menangis
“apa? Karna apa Vio? Ayo cerita” ucap mama pelan
“dia ninggalin aku karna penyakit ini ma! Penyakit yang gak jelas ini ma! Sakit banget ma. Hidupku berantakan ma, hancur! Ditambah mama, papa, semua kakak, semuanya berubah! Mama gak merasa sakitku? Gak merasa deritaku seperti apa? Rasain ma!”
Mama hanya diam, tak menjawab semua perkataanku. Aku berbalik badan, membelakangi mama. Terdengar isak tangis mama. Aku tak tega, sangat tak mau melihat mama menagis. Tapi apa mama tau? Tangisannya tidak akan menyembuhkan lukaku, sakitku, hancurnya batinku. Hah, Tuhan, sampai kapan kau uji aku?
**
Aku berjalan di koridor rumah sakit, bosan juga hanya berbaring ditempat tidur. Aku berjalan pelan, sebari membawa infusan yang masih melekat ditelapak tangan kiriku. Kepalaku masih sakit, nafasku juga belum teratur. Kakiku lemas, tapi daripada hanya diam dan berbaring di kamar rumah sakit? Itu lebih membosankan.
Aku duduk dibangku ruang tunggu. Keringatku bercucuran, padahal hanya berjalan melewati beberapa koridor rumah sakit, tapi rasanya seperti berjalan berkilo kilo jauhnya.
“gak mau ma! Apaan sih kemo!” teriak laki laki itu
“kan biar kamu sembuh Vino, ayo” ajak mamanya lembut
“ah mama! Aku gak mau!” teriaknya lagi
Aku hanya diam, memandangi mereka, harusnya laki2 ini bersyukur, mamanya masih mau mengurusnya. Gatau diri. Mamanya tetap membujuknya, sampai akhirnya mamanya pergi, entah kemana entah mau apa. Aku mencoba mengobrol dengannya
“hey, kamu sakit?” tanyaku ramah
“menurut lo, gue sakit apa sehat?” tanyanya balik, kasar
“sh biasa aja dong, kan nanyanya baik baik” ucapku agak kesal
“gue sakit, puas lo?” jawabnya lebih galak
Aku mengepal tanganku, kesal. Kenapa ada orang seperti dia? Sakit parah ko bangga? Gila kali. Aku coba menenangkan suasana
“kamu sakit apa?” tanyaku pelan
“ih lo ngomongnya sok ramah banget, aku kamu. Lo gue aja kali. Sakit apa kek, emang lo bisa sembuhin? Ha?” ucapnya dengan nada tinggi
“biasa aja dong lo! Rese ye, sakit kok bangga amat” ucapku kencang, tepat ditelinganya
Dia diam, menatapku heran. Mungkin dikepalanya dia berfikir “kurus kurus suaranya kenceng banget”. Aku diam, melipat kedua tanganku, memperlihatkan muka bt
“gue sakit kanker, kanker hati. Lo sakit juga?” ucapnya pelan, mendekatkan tubuhnya
“stadium berapa? Iya gue juga sakit” jawabku datar. Dia menatapku
“stadium2, lo sakit apaan?” tanyanya
“oh stadium2, masih bisa disembuhin ko. Gue? Haha gatau gue sakit apa. Gak jelas. Menurut lo kalo selalu sakit nafas apa? Sesak, nyesek, penyakit apa itu?” tanyaku berulang ulang
Dia diam, mengerutkan keningnya, menandakan dia berfikir, lama
“kelamaan lo. Gatau kan? Gue juga gak tau gue sakit apa. Tapi sekalinya kambuh, parah banget. Ampe gue serasa mau mati tepat waktu itu juga. Lo masih mending, tau penyakit lo apa, masih stadium 2, dan mama lo baik banget masih mau ngurus lo. Gue? Gue gatau penyakit gue apa, sembuhinnya gimana gue gatau, mama gue? Dia berubah semenjak cerai dari papa gue. Dan cowo gue? Pergi sama cewe lain, gara gara malu puya cewe kaya gue, jadi, lebih menderita lo, apa gue? Fisik sama batin gue udah ancur banget, lo baru fisik, belum batin” jelasku panjang lebar. Dia diam kembali, menatapku dalam. Aku hanya diam, mencoba tegar, mencoba kuat. Aku tak peduli dia mau berfikir apa tentangku.
“lo mau nangis ya?” tanyanya pelan
“engga, sotau lo” jawabku singkat
“bohong banget, mata lo merah banget itu. Air liur lo asin ya?” tanyanya
“iya, kok tau? Gue gak nangis, ih lo sotau banget si” jawabku
“hahaha iya orang mau nangis tuh gitu. Sumpah lo jelek banget hahahaha” ucapnya sebari tertawa ngakak
Aku menikmati suasana seperti ini. Sudah lama aku tidak merasakannya. Tertawa lepas bersama seseorang, bercerita tentang kehidupanku yang berantakan. Bersanda gurau, saling mengejek. Hah, aku ingat Vion. Selama dua tahun aku menjalani hubungan itu, dengan senang hati, dengan hati yang amat sangat tulus. Aku ingat semua janjinya, menerimaku apa adanya, menjagaku saat aku lemah. Tapi buktinya? Sekarang, hari ini, detik ini, dia tidak ada disampingku, menemaniku, tidak ada! Hah, perasaan muak mulai menghampiriku lagi.
“yuk Vin, kemo dulu” ajak mamanya, dia datang saat kami sedang asyik mengobrol tentang film kesukaan kami.
“iya ma. Eh gue kemo dulu ya. Thanks ya, gue jadi semangt berobat nih” ucapnya sebari berdiri, bergegas kemo
“haha iya iya, berobat yang bener lo. Gaperlu trimakasihlaaah” jawabku sebari tersenyum tipis
“hahaha cantik lo. Udah ya, bye. Semoga kita ketemu lagi” ucapnya lalu pergi
Aku memandangi tubuhnya yang berjalan meninggalkanku, rasanya aku jatuh cinta lagi. Aku ragu. Mungkinkah dia orang yang aku butuhkan?
“eh! Nama lo siapa?” teriaknya dari jauh
“Vio, nama gue Vio!” teriakku keras
Dia hanya mengangguk lalu tersenyum. Hatiku tenang. Aku merasa akan ada kehidupan yang indah pada hidupku setelah ini
#makasih udah mau baca :) tolong kasih saran ya buat judul sama terusannya mesti gimana, soalnya ini dadakan banget bikinnya :D sekali lagi, makasih :))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar